أن اليهود كانوا إذا حاضت المرأة فيهم لم يؤاكلوها ولم
يجامعوهن في البيوت فسأل الصحابة النبي صلى الله عليه وسلم فأنزل الله تعالى :
ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض…
Sesungguhnya orang yahudi, ketika istri mereka mengalami
haid, mereka tidak mau makan bersama istrinya dan tidak mau tinggal bersama
istrinya dalam satu rumah.
Para sahabatpun bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. kemudian Allah menurunkan ayat, yang artinya:
Para sahabatpun bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. kemudian Allah menurunkan ayat, yang artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa
haid itu kotoran, karena itu hindari wanita di bagian tempat keluarnya darah
haid…” (HR. Muslim 302).
Dengan demikian, suami masih bisa melakukan apapun ketika
istri haid, selain yang Allah larang dalam Al-quran, yaitu melakukan hubungan
intim.
3 Macam Interaksi Intim Suami dan
Istri Ketika Haid
Ada 3 macam interaksi intim antara suami & istri ketika
haid:
Pertama, interaksi
dalam bentuk hubungan intim ketika haid. Perbuatan ini haram dengan sepakat
ulama, berdasarkan firman Allah,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا
تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu
adalah suatu kotoran”. Karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila
mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri.
(QS. Al-Baqarah: 222)
Orang yang melanggar larangan ini, wajib bertaubat kepada
Allah, dan membayar kaffarah, berupa sedekah satu atau setengah dinar.
Keterangan tentang ini bisa anda simak di: Hukum Berhubungan Badan setelah
Haid Berhenti tetapi Belum Mandi Wajib.
Kedua, interaksi
dalam bentuk bermesraan dan bercumbu selain di daerah antara pusar sampai lutut
istri ketika haid. Interaksi semacam ini hukumnya halal dengan sepakat ulama.
A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا حِضْتُ يَأْمُرُنِي أَنْ أَتَّزِرَ، ثُمَّ يُبَاشِرُنِي
Apabila saya haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyuruhku untuk memakai sarung kemudian beliau bercumbu denganku.
(HR. Ahmad 25563, Turmudzi 132 dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Hal yang sama juga disampaikan oleh Maimunah radhiyallahu
‘anha,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُبَاشِرُ نِسَاءَهُ فَوْقَ الْإِزَارِ وَهُنَّ حُيَّضٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercumbu
dengan istrinya di daerah di atas sarung, ketika mereka sedang haid. (HR.
Muslim 294)
Ketiga, interaksi
dalam bentuk bermesraan dan bercumbu di semua tubuh istri selain hubungan intim
dan anal seks. Interaksi semacam ini diperselisihkan ulama.
1. Imam Abu Hanifah, Malik, dan As-Syafii berpendapat bahwa
perbuatan semacam ini hukumnya haram. Dalil mereka adalah praktek Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana keterangan A’isyah dan Maimunah.
2. Imam Ahmad, dan beberapa ulama hanafiyah, malikiyah dan
syafiiyah berpendapat bahwa itu dibolehkan. Dan pendapat inilah yang dikuatkan
An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (3/205).
Diantara dalil yang mendukung pendapat kedua adalah
a. Firman Allah
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid
itu adalah suatu kotoran”. Karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
Al-Mahidh..”
Ibn Utsaimin mengatakan,
Makna Al-Mahidh mencakup masa haid atau tempat keluarnya
haid. Dan tempat keluarnya haid adalah kamaluan. Selama masa haid, melakukan
hubungan intim hukumnya haram. (As-Syarhul Mumthi’, 1/477)
Ibn Qudamah mengatakan,
فتخصيصه موضع الدم بالاعتزال دليل على إباحته فيما عداه
Ketika Allah hanya memerintahkan untuk menjauhi tempat
keluarnya darah, ini dalil bahwa selain itu, hukumnya boleh. (Al-Mughni, 1/243)
b. Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
ketika para sahabat menanyakan tentang istri mereka pada saat haid. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ
“Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali
nikah.” (HR. Muslim 302).
Ketika menjelaskan hadis ini, At-Thibi mengatakan,
إِنَّ الْمُرَادَ بِالنِّكَاحِ الْجِمَاعُ
“Makna kata ‘nikah’ dalam hadis ini adalah hubungan intim.”
(Aunul ma’bud, 1/302)
Hubungan intim disebut dengan nikah, karena nikah merupakan
sebab utama dihalalkannya hunungan intim.
c. Disebutkan dalam riwayat lain, bahwa terkadang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga melakukan praktek yang berbeda seperti di atas.
Diriwayatkan dari Ikrimah, dari beberapa istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أراد من الحائض شيئا ألقى
على فرجها ثوبا
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak
melakukan hubungan intim dengan istrinya yang sedang haid, beliau menyuruhnya
untuk memasang pembalut ke kemaluan istrinya.” (HR. Abu Daud 272 dan Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan:
Sanadnya kuat).
Onani Bukan Solusi
Memahami hal ini, selayaknya suami tidak perlu risau ketika
istrinya haid. Dan jangan sekali-kali melakukan onani tanpa bantuan tubuh
istri. Mengeluarkan mani dengan selain tubuh istri adalah perbuatan yang
terlarang, sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan kriteria orang mukmin
yang beruntung,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ ( ) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ( ) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْعَادُونَ
Orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka
Itulah orang-orang yang melampaui batas.
(QS. Al-Mukminun: 5 – 7)
Diantara sifat mukminin yang beruntung adalah orang yang
selalu menjaga kemaluannya dan tidak menyalurkannya, selain kepada istri dan
budak wanita. Artinya, selama suami menggunakan tubuh istri untuk mencapai
klimaks syahwat, maka tidak dinilai tercela. Berbeda dengan “orang yang mencari
selain itu”, baik berzina dengan wanita lain, atau menggunakan bantuan selain
istri untuk mencapai klimaks (baca: onani), Allah sebut perbuatan orang ini
sebagai tindakan melampaui batas.
Allahu a’lam
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina
www.KonsultasiSyariah.com)